BeritaDPRD BabelPangkalpinang

‎Dorong Pemerintah Perkuatan Layanan Rehabilitasi Terpadu bagi ODGJ, Me Hoa Minta Pemerintah Serius

‎PANGKALPINANG, INLENS.id — Data terbaru menunjukkan bahwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tengah menghadapi kondisi darurat kesehatan jiwa yang memerlukan perhatian serius dan tindakan nyata dari seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah.

‎Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, sekitar 10% penduduk Bangka Belitung usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional. Angka ini tersebar merata di seluruh kabupaten/kota, menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya persoalan individual, tetapi telah menjadi masalah kesehatan publik yang meluas.

‎Lebih memprihatinkan lagi, praktik pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih ditemukan, dengan data mencatat setidaknya 11 kasus yang masih berlangsung. Ini menandakan adanya kesenjangan dalam sistem layanan kesehatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi ODGJ.

‎Data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Bangka Belitung juga menunjukkan lonjakan drastis jumlah pasien skizofrenia dari 520 kasus pada 2019 menjadi 4.090 kasus pada 2020. Peningkatan ini tidak hanya mencerminkan bertambahnya penderita, tetapi juga mengindikasikan kemungkinan keterlambatan deteksi dan intervensi dini. Penelitian juga mengungkap bahwa kepatuhan minum obat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan motivasi pasien, yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan frekuensi kekambuhan semakin tinggi.

‎Sementara itu, Survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat bahwa 2% penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami masalah kesehatan jiwa, termasuk 0,25% yang memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup dan 1,4% mengalami depresi. Data ini semakin menegaskan urgensi pentingnya skrining dan intervensi dini sebagai langkah preventif untuk mencegah berkembangnya gangguan jiwa berat.

‎Dalam upaya memperkuat fondasi regulatif, Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Me Hoa, baru-baru ini melakukan sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan. Dalam kesempatan itu, Me Hoa menyoroti masih minimnya kolaborasi antara pemangku kepentingan dalam menangani pasien ODGJ.

‎“Data pasien itu sebetulnya sudah ada di tingkat desa, khususnya di puskesmas, sebelum sampai ke RSJ provinsi. Namun, di luar puskesmas, tidak tersedia tenaga psikiater atau psikolog, dan ini menjadi masalah tersendiri,” tegas Me Hoa. Ia menambahkan bahwa pasien ODGJ adalah pasien ‘khusus’ yang memerlukan penanganan berkelanjutan (continuous care), sementara keluarga pasien sendiri belum tentu mampu secara konsisten memberikan obat harian yang wajib dikonsumsi.

‎Untuk itu, Me Hoa mendorong pemerintah agar menciptakan inovasi dalam bentuk Models Collaborative Governance guna mengatasi kompleksitas penanganan ODGJ. “Obat-obatan sebenarnya juga tersedia di puskesmas, tinggal bagaimana mekanisme kontrol rutin dijalankan dan koordinasi lintas sektor diperkuat,” ujarnya.

‎Melihat fakta-fakta ini, masyarakat dan pemangku kepentingan mendesak komitmen nyata dari Pemerintah Provinsi Bangka Belitung untuk:

‎1. Meningkatkan anggaran dan kapasitas layanan kesehatan jiwa, baik di tingkat puskesmas maupun rumah sakit.

‎2. Melakukan pelatihan petugas kesehatan dan kader masyarakat untuk mendeteksi dini gangguan jiwa.

‎3. Menghapus praktik pemasungan secara total, dengan pendekatan rehabilitatif berbasis komunitas.

‎4. Menjamin ketersediaan dan kepatuhan pengobatan pasien, termasuk edukasi yang berkelanjutan bagi keluarga.

‎Gangguan jiwa adalah penyakit, bukan aib. Pemerintah harus hadir sebagai pelindung, bukan penonton. Sudah saatnya kesehatan jiwa menjadi prioritas utama dalam agenda pembangunan daerah. (yak)

Baca juga  Dukung Energi Berkelanjutan, Wamen Desa PDT Lepas Touring EV di Pangkalpinang

Related Articles