BeritaOpiniPangkalpinang

Reformasi Birokrasi: Menjembatani Visi Pimpinan dan Realitas Kebutuhan Rakya

Opini : MUHAMAD FADHEL SALAZEN

Reformasi birokrasi adalah sebuah keniscayaan bagi Indonesia, didorong oleh sejarah kelam krisis multidimensi dan tuntutan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Namun, dalam perjalanannya, upaya masif ini sering kali menghadapi tantangan signifikan dalam menyelaraskan dua perspektif utama: keinginan strategis para pimpinan dan kebutuhan mendesak masyarakat luas. Artikel ini akan mengupas dinamika tersebut serta solusi yang diperlukan untuk mencapai birokrasi yang benar-benar melayani.

Perspektif Pimpinan: Visi Jangka Panjang dan Indikator Global

Bagi para pimpinan, reformasi birokrasi sering kali diterjemahkan ke dalam program kerja yang terstruktur, fokus pada delapan area perubahan, seperti penguatan akuntabilitas, penataan organisasi, dan manajemen SDM aparatur. Tujuan utamanya sering kali bersifat makro dan terukur secara global, misalnya peningkatan peringkat Ease of Doing Business (kemudahan berusaha) atau pencapaian target “pemerintahan berkelas dunia”.

Pendekatan ini cenderung bersifat top-down, di mana perubahan didorong melalui regulasi, sistem digitalisasi (e-government), dan penegakan sistem merit. Harapannya adalah menciptakan birokrasi yang efisien, transparan, dan kompeten secara sistemik.

Perspektif Rakyat: Kebutuhan Nyata di Lapangan

Di sisi lain, masyarakat memiliki harapan yang lebih pragmatis dan langsung. Bagi rakyat, reformasi birokrasi berarti kemudahan dalam mengakses pelayanan publik sehari-hari: proses yang cepat, murah, tidak berbelit-belit, dan bebas dari praktik korupsi atau pungli. Partisipasi masyarakat dalam perumusan standar pelayanan menjadi sangat penting, karena merekalah pengguna langsung layanan tersebut.

Kesenjangan muncul ketika program reformasi yang canggih di tingkat pusat tidak terasa dampaknya di unit pelayanan dasar. Rakyat masih sering dihadapkan pada birokrasi yang kaku, pola pikir “dilayani” bukan “melayani”, dan kurangnya transparansi di lapangan, yang menjadi hambatan utama dalam implementasi.

1 2Laman berikutnya