
PANGKALPINANG, INLENS.id – Modernitas sering membuat masyarakat mengabaikan nilai lokal yang sesungguhnya menyimpan makna penting bagi kehidupan.
Kearifan lokal bukan hanya warisan budaya, melainkan ilmu pengetahuan yang diwariskan untuk menjaga keseimbangan manusia dengan alam.
Salah satu contoh nyata terlihat pada tradisi Taber Laut di Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah.
Taber Laut adalah ritual tahunan masyarakat pesisir sebagai ungkapan syukur atas hasil laut dan doa keselamatan bersama.
Tradisi biasanya digelar pada April, meski bisa bergeser jika bertepatan dengan perayaan keagamaan atau acara besar lainnya.
Bagi warga setempat, Taber Laut bukan sekadar upacara, melainkan bagian hidup yang wajib mereka jalani dengan penuh keyakinan.
Mereka percaya tanda-tanda spiritual akan muncul jika ritual ini terhenti, sebagai pengingat pentingnya menjaga tradisi leluhur.
Nilai Sosial dan Aturan Adat yang Mengikat
Tradisi Taber Laut memperkuat persaudaraan masyarakat melalui doa bersama, makan bersama, serta hiburan rakyat penuh kebersamaan.
Selain nilai sosial, tradisi ini juga melahirkan aturan adat yang menumbuhkan disiplin sekaligus penghormatan terhadap lingkungan.
Warga dilarang melaut selama tiga hari, tidak boleh mencelupkan makanan ke laut, dan membatasi area bermain anak.
Aturan adat itu menjaga harmoni manusia dengan laut sekaligus mempertegas ikatan spiritual masyarakat pesisir dengan alam.
Meski tetap berlangsung, pelaksanaan Taber Laut masih bergantung penuh pada inisiatif warga Desa Batu Beriga.
Pemerintah belum memberi dukungan optimal, padahal Taber Laut berpotensi besar sebagai festival budaya pesisir yang berdaya.
Jika dikelola baik, tradisi ini bukan hanya melestarikan warisan, tetapi juga membuka peluang ekonomi berbasis pariwisata tradisi.
Warga pernah mengusulkan lomba renang, lomba memasak, hingga “Bakar Seribu Udang”, namun keterbatasan dana selalu menghalangi realisasi.