Senjata Makan Tuan dalam Politik Pemerintahan Daerah
Oleh: Eddy Supriadi, Dosen Universitas Pertiba

PANGKALPINANG, INLENS.id – Di panggung politik daerah, kepala daerah sering merasa dirinya sutradara penuh kuasa: pejabat dipindah bak pion catur, birokrasi diperlakukan seperti tombol remote, dan manuver politik ditayangkan seolah sinetron prime time. Tetapi, naskah kekuasaan tak pernah berjalan sesuai skenario. Banyak kepala daerah justru tergelincir oleh strategi yang mereka mainkan sendiri. Itulah ironi klasik: senjata makan tuan.
Merit System Jadi ABS System
Secara yuridis, sistem merit dalam penempatan pejabat ASN telah diatur dengan tegas. Dahulu ada KASN sebagai penjaga netralitas, kini kewenangan sebagian besar berpindah ke BKN dan Menpan-RB. Secara teori, ini dimaksudkan memperkuat tata kelola ASN agar profesional, netral, dan berbasis kompetensi.
Namun praktik di lapangan justru melahirkan varian baru: merit system berubah menjadi ABS system (asal bos senang). Open bidding yang semestinya terbuka dan objektif sering kali hanya ritual formal. Hasil akhirnya tetap mengerucut pada “orang dekat” yang siap tanda tangan tanpa tanya, bukan yang paling cakap memimpin. Aturan yang semula menjadi pagar hukum, justru dipelintir jadi jalan pintas politik. Ironinya, ketika publik menggugat atau aparat turun tangan, aturan yang dipandang sebelah mata itu berbalik menjadi jerat.
ASN Jadi Korban, Publik Jadi Penonton
Dari sisi sosiologis, rotasi dan mutasi yang sarat politik membuat ASN hidup dalam ketidakpastian. Hari ini loyal pada X, besok pada Y, lusa entah siapa lagi. Profesionalitas terkikis oleh perintah: “ikuti saja bos, jangan banyak komentar.”
Lebih parah lagi, kepala daerah kini punya standar baru: pejabat bukan hanya harus ABS, tapi juga harus siap menjadi tim kreatif konten media sosial. Ada kepala dinas yang dipilih bukan karena kompeten mengelola pembangunan, tapi karena piawai nge-vlog saat mendampingi bos. ASN yang dulunya bekerja di balik meja kini dipaksa tampil di kamera. Padahal, masyarakat sudah mulai bosan dengan parade konten pencitraan. Mereka lebih butuh pelayanan publik nyata ketimbang video reels yang penuh musik dramatis.
Amanah yang Tergadai oleh Citra




