Berhenti Rayakan Seragam, Mulailah Berkaca: Kemunduran Pramuka di Hari “Panji”
Oleh : Arya Ramandanu (Wartawan dan Penggiat Pramuka)

PANGKALPINANG,INLENS.id – Di tengah upacara dan salam pramuka hari ini, 14 Agustus tanggal yang sebenarnya menandai penyerahan Panji Gerakan Pramuka oleh Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada 14 Agustus 1961, kita dipaksa menunduk. Bukan karena khidmat, melainkan karena malu. Pangkalpinang yang mestinya bisa jadi etalase pendidikan karakter kembali tercoreng: seorang guru honorer diduga mencabuli anak di bawah umur. Unit PPA Satreskrim Polresta Pangkalpinang menangkap terduga pelaku berinisial M/ML (32), setelah laporan orang tua korban (16) masuk dan alat bukti awal dikantongi penyidik. Ironis, kabar ini pecah berbarengan dengan peringatan Hari Pramuka.
Baju Seragam Tak Menjamin Akhlak
Jika Pramuka selama ini diklaim sebagai “wadah pembinaan watak dan kepemimpinan”, mengapa ruang pendidikan justru berulang kali jadi TKP kekerasan seksual? Data nasional menunjukkan tren yang bukan sekadar “oknum”: Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 merekam 330.097 kasus kekerasan naik 14,17% dari tahun sebelumnya dengan kekerasan seksual berada pada posisi teratas di data mitra lembaga (17.305 kasus). KPAI juga menerima 2.057 pengaduan sepanjang 2024. Angka-angka ini menampar romantisasi kita terhadap slogan “setia siap sedia” yang hampa pengawasan.
“Dharma” Tergadai oleh Uang Saku Hibah
Lebih menyakitkan lagi, publik Pangkalpinang disuguhi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait penggunaan dana hibah Kwarcab Gerakan Pramuka Pangkalpinang: laporan pertanggungjawaban telat, ada belanja yang tak tepat peruntukan, dan sejumlah pengeluaran tanpa bukti memadai. Ini bukan sekadar salah ketik, ini etika publik yang ambruk. Modus klasik di banyak kasus keuangan daerah adalah kuitansi fiktif/palsu—sebuah praktik yang jelas-jelas dapat dijerat Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Gerakan yang lahir dari idealisme justru tersandung di hal paling dasar: kejujuran pembukuan.
Saat “Hari Pramuka” Hanya Jadi Panggung Seremonial
Setiap tahun, 14 Agustus dirayakan dengan seremoni. Padahal tanggal ini bukan “ulang tahun lomba yel-yel”, melainkan momentum penyerahan Panji sebuah amanah etis yang mengikat. Ketika panji itu dibawa berkeliling pada 1961, pesan yang dibentangkan adalah integritas, keteladanan, dan pengabdian tanpa pamrih. Realitas hari ini—kekerasan pada anak dan kejanggalan tata kelola hibah membuat seremoni kehilangan makna.
Empat Pembenahan Mendesak (Kalau Pramuka Mau Tetap Relevan)
1. Standar Keamanan Anak (Child Safeguarding) yang Mengikat & Terpublikasi
Semua gugus depan/kwarcab wajib memiliki SOP perlindungan anak, mekanisme pelaporan rahasia, serta verifikasi latar belakang pembina/guru pendamping. Kepatuhan harus diaudit eksternal dan diumumkan berkala. Jerat pidana bagi pelaku—dari UU Perlindungan Anak hingga UU TPKS—harus dipampang jelas di setiap kegiatan, bukan cuma di pamflet hukum online.
2. Audit Forensik Keuangan & “Bukti atau Kembalikan”
Setiap rupiah hibah wajib ditopang dokumen sah; bila ada transaksi tanpa bukti atau tak tepat peruntukan, uang dikembalikan—plus sanksi organisasi. BPK sudah memberi lampu kuning; Kwarcab harus membuka buku dan bersih-bersih sekarang, bukan menunggu skandal membusuk.
